Memaknai Fleksibilitas MBKM

Penulis: Ratna Frida Susanti, Ph.D.
Sumber artikel: Majalah Parahyangan, Vol. X, No. 1, Januari-Maret 2023

Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digaungkan pertama kali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada Januari 2020 menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan. Bukan perkara mudah ketika perguruan tinggi dihadapkan pada perubahan kurikulum yang drastis, dimana 20 hingga 60 sks (s.d 42%) dari kurikulum program studi (prodi) didedikasikan untuk MBKM. Jumlah tersebut notabene mencapai hampir setengah dari kurikulum prodi yang harus ditempuh selama kurang lebih empat (4) tahun. Bukan rahasia, bahwa kurikulum prodi tidak bisa berdiri secara mandiri, namun harus mengacu pada asosiasi profesi, kurikulum wajib pemerintah, kurikulum yang mendukung visi dan misi universitas maupun juga kurikulum akreditasi internasional. Berbagai pertanyaan, keraguan dan kebingungan dalam merealisasikan program MBKM menjadi respon pertama bagi para pemangku kepentingan di lingkungan universitas dan prodi. Padahal, MBKM tersebut sudah diatur dalam Permendikbud no 3 tahun 2020. Dalam Permendikbud tersebut dinyatakan bahwa mahasiswa diberikan kesempatan untuk melakukan pembelajaran di luar prodi pada perguruan tinggi (PT) yang sama sebanyak maksimum satu (1) semester atau dua puluh (20) sks dan diluar perguruan tinggi selama dua (2) semester maksimum atau setara dengan empat puluh (40) sks.

Pada awalnya, MBKM diluncurkan dengan sebuah cita-cita yang mulia, yaitu untuk menjawab tantangan Perguruan Tinggi menuju era revolusi industri 5.0 ini. Pada era ini, sentuhan “manusia” di berbagai aspek menjadi lebih kuat, di mana potensi kemajuan terletak di kolaborasi antara manusia dan mesin. Berbeda dengan revolusi industri 4.0, dimana potensi kemajuan dititikberatkan pada teknologi. Sehingga ketika manusia kembali menjadi pusat (center), dibutuhkan lulusan PT yang mampu berdinamika sesuai kebutuhan jaman, industri, sosial, dinamika masyarakat dan dunia usaha serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan MBKM diharapkan dapat menjawab tantangan untuk mendekatkan dunia industri dengan perguruan tinggi dimana selama ini masih terkotak-kotak; dimana PT berfokus dengan pembelajaran secara teoretis dan terpisah dengan dunia industri yang berorientasi pada ekonomi dan produktivitas. Pengecualian pada dosen yang sudah aktif “mroyek” di industri, sehingga bisa melibatkan mahasiswa dalam prosesnya ataupun memberikan case study yang relevan. Padahal, menurut Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 6, sarjana diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan secara nyata dengan mengaplikasikan bidang keahliannya.

Mengapa MBKM dianggap menjadi solusi untuk mendekatkan dunia industri dan perguruan tinggi? Jawabannya berawal pada prinsip penyusunan kurikulum perguruan tinggi. Di dalam penyusunan instrumen kurikulumnya seperti capaian pembelajaran lulusan (student outcome), prodi harus mempertimbangkan masukan dari pengguna lulusan (dalam hal ini industri/ perusahaan), selain dari berbagai pemangku kepentingan yang lain seperti mahasiswa, asosiasi profesi atau pakar pendidikan. Kemudian dalam proses pembelajarannya, melalui program MBKM, mahasiswa diberikan kesempatan untuk praktek di industri ataupun perusahaan (dalam bentuk magang maupun studi independen) selama satu (1) semester (durasi 560-840 jam atau 16-24 minggu). Hal itu tentunya berbeda dengan kerja praktek di masa dahulu yang hanya berdurasi sekitar maksimum dua (2) bulan, yang kadang justru bagi industri/ perusahaan dianggap cukup membebani, karena mengganggu rutinitas karyawan. Padahal kegiatan itu adalah satu-satunya kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar secara langsung ke lapangan. Dengan durasi waktu yang lebih panjang melalui program MBKM ini, mahasiswa dipersiapkan lebih matang sebelum terjun ke dunia industri/ perusahaan. Dengan berperannya industri atau perusahaan sejak dalam penyusunan instrumen kurikulum, proses pembelajaran sampai dengan evaluasi (tracer study pengguna lulusan) untuk memperbaiki kurikulum, maka selanjutnya akan terjadi “link and match” antara pelaku usaha dan dunia pendidikan. Proses “link and match” ini tentu saja menjadi alasan kuat yang harus dilakukan untuk menjawab dan merespon perkembangan jaman yang dinamis, teknologi yang berubah cepat dan kebutuhan pasar yang berubah. Pada akhirnya, mau tak mau, perguruan tinggi dan program studi harus berdandan dan berbenah dengan cepat, mengadopsi pembelajaran yang inovatif dan berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Kampus merdeka diharapkan menjadi jawaban atas itu, sebagai salah satu wahana untuk pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Kampus merdeka diharapkan menempa mahasiswa untuk belajar secara kritis-kreatif, mandiri, kolaboratif, partisipatif melalui penyelesaian problem-problem nyata di lapangan.

Berbagai bentuk kegiatan kampus merdeka tidak terbatas pada berkegiatan di industri, namun juga kegiatan yang secara langsung terjun di masyarakat. Ada sepuluh (10) bentuk kegiatan pembelajaran (BKP) MBKM yang dikembangkan UNPAR berdasarkan program yang ditawarkan Kementrian, yaitu magang/ praktik kerja, studi independen, pertukaran pelajar, asistensi mengajar di satuan pendidikan, program kemanusiaan, riset, membangun desa/ KKN tematik, kewirausahaan, bela negara dan lingkungan hidup. Untuk mendukung realisasinya, Dikti pun meluncurkan berbagai program untuk menginternalisasi atau memberikan pengalaman pertama program kampus merdeka seperti Indonesian International Student Mobility Award (IISMA), pertukaran mahasiswa merdeka, MSIB (magang dan studi independent bersertifikat), Bangkit by Google, GoTo, traveloka, Gerilya (kementrian ESDM), kampus mengajar, membangun desa (KKN tematik), proyek kemanusiaan, riset dan wirausaha merdeka. Harapannya, dengan inisiasi program-program pemerintah ini, kegiatan MBKM akan diinternalisasi oleh perguruan tinggi meskipun lambat laun program-program pemerintah itu akan dihilangkan.

Bagaimana memaknai kefleksibelan MBKM?
Sesuai dengan namanya yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka, di mana mahasiswa diberikan pilihan dan kesempatan seluas-luasnya untuk belajar dengan cara yang berbeda dengan pembelajaran yang selama ini umum dilakukan. Hal ini tentu saja menimbulkan konsekwensi pada kurikulum prodi yang harus didesain ulang dengan memasukkan unsur fleksibilitas. Artinya desain kurikulum tidak boleh terlalu kaku, sehingga diharapkan kurikulum bisa mewadahi hak mahasiswa belajar di luar prodi sampai dengan enam puluh (60) sks. Sebelumnya, belajar di luar kampus terbatas hanya pada pembelajaran-pembelajaran berdurasi pendek seperti student exchange maksimal satu (1) semester, magang 1-2 bulan atau kuliah kerja nyata (KKN) selama 1-2 bulan. Bila ditelaah lebih detail, pada dasarnya kesepuluh BKP MBKM itu sudah ada sebelumnya, namun dengan bentuk dan porsi yang lebih kecil. MBKM memberikan porsi yang lebih besar untuk hal-hal tersebut, dan tentunya 42% dari kurikulum prodi akan menimbulkan perubahan yang dratis. 

Selanjutnya bagaimana prodi bisa berbenah?
Adanya MBKM menuntut prodi untuk melakukan peninjauan ulang terhadap kurikulum. Meskipun MBKM harus difasilitasi, namun bukan tidak mungkin bila mahasiswa hanya ingin mencicipi sebagian atau tidak sama sekali dan tetap memilih jalur non-MBKM (jalur reguler). Hal ini diartikan bahwa kurikulum prodi harus dapat mewadahi semua kemungkinan, mulai dari mahasiswa yang ingin mengambil keseluruhan enam puluh (60) sks maupun mahasiswa yang hanya ingin menempuh jalur reguler. Prodi diajak melihat kembali kesepuluh BKP MBKM tersebut dan melihat jalur manakah yang mendukung pencapaian pembelajaran lulusan (CPL) prodi. Dari situ prodi bisa membuat beberapa skema program MBKM, skema  konversi terhadap MK Prodi, maupun penempatan pada masa studi sesuai dengan pilihan mahasiswa. Satu catatan penting, hendaknya program MBKM tidak menambah durasi masa studi mahasiswa.

Hal lain yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa program MBKM memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk belajar dengan cara dan sudut pandang yang berbeda. Pada saat bersamaan, hal ini tentu saja bisa dimaknai bermacam-macam. Lalu, seberapa merdeka kah? Apakah mahasiswa boleh mendaftar setiap program MBKM yang ditawarkan di luar sana? Pertanyaan itu muncul mewarnai maraknya tawaran program MBKM yang begitu massive dari pemerintah. Mahasiswa punya akses yang luas untuk mendaftar, bahkan tanpa harus mengantongi ijin dari program studi. Hal tersebut tentu saja di titik tertentu menyulitkan prodi di dalam mengatur konversinya, apabila mahasiswa tidak berkonsultasi dengan ketua program studi ataupun dosen pembimbing akademiknya mengenai kecocokan program tersebut dengan tujuan Pendidikan prodi maupun Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL). Lalu bagaimana rambu-rambunya? Meskipun kampus merdeka memberikan kebebasan seluas-luasnya, tetap saja mahasiswa harus mencapai Capaian Pembelajaran Lulusan (student outcomes) yang sudah dipatok dan dijanjikan prodi kepada para lulusannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran program studi menjadi sangat penting didalam implementasi maupun monitoring terhadap program MBKM.

Selanjutnya, mengapa yang menjadi pembatas adalah CPL dan bukan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)? CPL menjelaskan profil yang ingin dicapai dari program pendidikan di kampus dalam kerangka kurikulum, sedangkan CPMK merupakan turunan dari CPL yang terbagi dalam tahapan-tahapan pencapaian. Hal ini mengakibatkan CPMK menjadi terlalu spesifik. Bila yang dijadikan pembatas adalah CPMK, maka tujuan pembelajaran untuk menciptakan profil lulusan tidak akan terjadi dan justru akan mengekang, karena terbatas pada capaian di suatu mata kuliah yang merupakan bagian kecil dari profil lulusan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, prodi tetap perlu menentukan porsi pemenuhan CPMK oleh mahasiswa melalui Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang dibuat untuk kegiatan MBKM. MBKM bisa menjadi wahana belajar yang menyenangkan dan kontekstual, akan tetapi pelaksanaannya tetap harus dikontrol agar tidak keluar dari rel, yaitu profil lulusan dengan kompetensi yang ditargetkan. Dalam beberapa kesempatan, menteri Nadiem mengibaratkan belajar melalui koridor kampus merdeka seperti belajar berenang di lautan lepas, sedangkan belajar di kelas adalah seperti belajar renang di kolam renang. Sama-sama belajar berenang hanya konteksnya berbeda. Capaian yang ingin ditempuh sama yaitu belajar berenang, hanya tempatnya berbeda.

Bagaimana UNPAR menjawab Tantangan MBKM?
UNPAR sebagai salah satu perguruan tinggi swasta besar di Indonesia menanggapi secara positif tawaran program MBKM ini dengan berbagai langkah strategis. Pada akhir 2020 UNPAR membentuk satuan tugas MBKM (satgas MBKM) yang terdiri dari Kepala Lembaga terkait, wakil dari pejabat struktural berbagai jenjang (mulai dari dekan, wakil dekan, ketua jurusan, ketua prodi) juga kepala biro terkait dengan arahan Wakil Rektor Bidang Akademik. Satgas inilah yang merintis berbagai hal untuk mendukung percepatan implementasi MBKM, seperti merumuskan peraturan dan panduan, mendampingi perubahan kurikulum dalam bentuk addendum kurikulum maupun menjajagi program-program MBKM yang ditawarkan. Untuk merubah kurikulum tentunya memerlukan waktu yang tidak singkat, akan tetapi MBKM ini harus direspon secara cepat. Satgas melakukan roadshow di beberapa prodi dan fakultas untuk mendampingi prodi bagaimana mengiplementasikan MBKM. Program-program MBKM pemerintah banyak ditawarkan, dan itu menjadi praktek yang baik untuk mencicipi MBKM ini. Satgas ini kemudian berubah menjadi kantor MBKM pada Augustus 2021, yang semakin menguatkan implementasi MBKM di UNPAR. Sistem informasi MBKM pun dirancang sebagai jembatan  dengan sistem informasi akademik yang sudah berjalan dan berbagai sistem informasi lainnya.  Kantor MBKM dan beberapa prodi (Teknik Sipil dan Akuntansi) berhasil mengakses hibah Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) pertama kali pada 2021 dan berlanjut mendapatkan hibah pada tahun kedua (2022) untuk Institutional Support System (ISS) dan Prodi Sipil (tahun ke-2), Teknik Industri, Ilmu Hukum dan Hubungan Internasional.

A group of people standing on a bridge

Description automatically generated with low confidence
Gambar 1. Satgas MBKM 

Sejak diimplementasikan pada semester genap 2020/2021 sampai dengan semester ganjil 2022/2023 ini, MBKM UNPAR mengalami progres yang menjanjikan seperti terlihat pada gambar 2 dibawah. Pada awal implementasi baru ada 5 mahasiswa yang bergabung pada semester genap 2020/2021, yang bertumbuh menjadi angka 160 dan 103 di dua (2) tahun akademik berikutnya. Saat ini mahasiswa yang mengikuti MBKM di semester ganjil 2022/2023 sudah bertumbuh sampai 82 kali lipat dibandingkan dengan semester pertama diimplementasikan, dengan distribusi per prodi seperti nampak pada gambar 3. Magang masih menjadi bentuk kegiatan yang menjadi primadona, yang diikuti  65% dari peserta MBKM (gambar 4).

Uniknya pada semester ganjil 2022/2023 ini, UNPAR melahirkan tiga (3) bentuk kegiatan MBKM khas UNPAR yaitu Bela Negara, Ekologi dan Seni.  Adapun bentuk kegiatan Ekologi ditawarkan dalam tiga kegiatan yaitu Design Thinking for Environment Sustainability, Ekologi Sindu Cikapundung dan Ekologi Sistem Ketahanan Pangan Kota. Bentuk kegiatan Seni ditawarkan dengan nama program Seni Artsperiment Dengung. Peserta MBKM inipun cukup banyak yaitu 44 mahasiswa, meskipun hanya ditawarkan dalam waktu yang relatif singkat. Program ini didanai oleh hibah Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) UNPAR tahun 2022. Selain itu, pada September 2022 diluncurkan pula MBKM inisiatif prodi Ilmu Administrasi Publik (IAP) yang dinamakan MBKM Anti Korupsi. MBKM Antikorupsi merupakan kerjasama prodi FISIP dan ICW sejak 2019, yang diwujudkan dalam 4 bentuk kegiatan yaitu study experiential antikorupsi, asistensi mengajar kelas integritas, penelitian integritas korupsi dan antikorupsi, dan KKN membangun desa antikorupsi. MBKM ini akan ditawarkan mulai semester ganjil 2022/2023 dengan bobot masing-masing 20 sks.

Chart

Description automatically generated

UNPAR melalui kebijakan dalam bentuk aturan Rektor mengarahkan bahwa MBKM diharapkan semakin mampu diinternalisasi oleh prodi-prodi dan digariskan dalam kurikulum baru prodi tahun 2023, sehingga kegiatan MBKM bukan lagi menjadi kegiatan yang sporadis. Mahasiswa bisa menentukan dari awal dan merancang studinya mengikuti jalur MBKM ataupun jalur regular secara lebih terencana. Universitas menyiapkan diri untuk menghadapi penyelenggaraan MBKM secara mandiri, karena dari tren peminat (gambar 2), terlihat animo mahasiswa mengikuti MBKM ini semakin besar. Dan bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini, program-program inisiasi MBKM dari pemerintah akan dihilangkan. Kesiapan PT dan prodi menjadi kunci keberhasilannya.

Akan tetapi sebuah PR besar tersisa, yaitu evaluasi dan pemantauan implementasi MBKM ini, baik di tingkat Universitas maupun program studi  Mahasiswa belajar di luar kampus, bukan tidak mungkin justru malah mahasiswa tidak mendapatkan apa-apa, apabila tidak ada koordinasi antara program studi dengan mitra dan pemantauan tiap tahapnya. Bukan tidak mungkin apabila mahasiswa akhirnya muncul sebagai generalis, yang tidak memahami aspek detail dari ilmunya. Jadi monitoring dan evaluasi terhadap program MBKM ini mutlak diperlukan untuk melihat keberhasilannya. Proses pengembangan berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan dalam jangka panjang. Salah satu instrument evaluasi yang bisa dilakukan adalah melalui tracer study pada lulusan dan pengguna lulusan. Apakah Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) yang ditempuh melalui program MBKM ini betul tercapai? Bagaimana ketercapaian CPL oleh mahasiswa MBKM dibanding mahasiswa reguler? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja penting untuk menguatkan bahwa MBKM adalah cara yang tepat ditempuh prodi/ mahasiswa di dalam proses pembelajarannya. Pada akhirnya, input yang diperoleh dari proses monev ini akan menjadi bahan perbaikan untuk keberlanjutan program ini dimasa yang akan datang.