
Dalam kehidupan sehari-hari, garam merupakan bahan yang biasa digunakan sebagai bumbu dapur. Namun, garam juga merupakan bahan yang umum digunakan dalam industri kimia. Garam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses produksi dan pengolahan. Oleh karena itu, Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Parahyangan (TK UNPAR) mengangkat tema berjudul “Garam: Bahan Makanan atau Bahan Kimia?” dalam webinar terbaru. Webinar ini dilaksanakan pada Sabtu, (29/04/23) melalui platform Zoom. Narasumber yang didatangkan pada webinar ini, yaitu Prof. Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M. App. Sc. selaku Kepala Pusat Studi Rekayasa Proses dan Produk Pangan dan Putu Padmareka Deandra, S.T., M.T., selaku Awardee Nutrifood Research Center Fellowship 2022.
Garam di Indonesia

Prof. Judy mengawali webinar dengan menegaskan bahwa, “Sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kita memiliki potensi besar yang belum banyak di eksplorasi”. Laut sebagai potensi ekonomi negara disebut juga ekonomi biru memiliki garam yang perlu dimanfaatkan secara maksimal. Sejauh ini, kualitas garam rakyat di Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan industri pangan karena kemurniannya yang terbatas pada 90%. Sementara itu, garam dalam industri membutuhkan kemurnian hingga 98-99%. Hal ini disebabkan oleh teknik produksi garam yang masih konvensional.
Di Indonesia, pembuatan garam dilakukan melalui teknik pengeringan dengan mengandalkan panas matahari. Teknik ini hanya dapat dilakukan selama musim panas. Sementara itu, garam yang diperlukan mencapai 30% untuk pangan dan 70% untuk kebutuhan industri. Oleh karena itu, diperlukan seorang engineer untuk membantu mengembangkan proses pembuatan garam agar kebutuhan dan kualitas garam dapat terpenuhi.
Industri Kimia Garam

Sesi selanjutnya dibawakan oleh Putu Padmareka yang menjelaskan bahwa munculnya berbagai jenis garam karena pengaruh teknologi. Konsumsi garam di Indonesia mencapai 15 gram per tahun. Jumlah garam yang dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan penyakit, seperti jantung, stroke, dan hipertensi. Oleh karena itu, ilmuwan meningkatkan kualitas garam untuk mereduksi dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Salah satunya adalah diversifikasi garam dendritik.
Garam dendritik, yaitu pembentukan garam dengan struktur kristal mirip bintang. Pada proses pengadukan, garam jenis ini akan lebih mudah larut. Kelebihan lain yang dimiliki adalah dengan jumlah campuran garam dendritik yang lebih sedikit dengan makanan akan menghasilkan rasa asin yang sama dengan garam biasa. Cara pembuatan garam dendritik adalah dengan dehumidifier untuk menghilangkan kandungan air dalam larutan garam dendritik.
Contoh lain diversifikasi garam, yaitu pyramid salt dan himalayan salt. Pyramid salt yang memiliki rasa gurih dan tidak terlalu asin. Pyramid salt memiliki kandungan mineral yang tinggi. Harga pyramid salt mencapai Rp300.000,-/kg. Produksi garam ini dilakukan di dalam rumah kaca dengan menguapkan air laut hingga membentuk kristal.
Demikian webinar series 8 dapat terlaksana, peserta diharapkan dapat menyadari bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Garam merupakan salah satunya sehingga dapat menjadi prospek masa depan yang menjanjikan. (Hasna)